Refleksi pertemuan ke-3
ARUS FILSAFAT
Oleh : Tengku
Neti Azni
“
Dalam berfilsafat luluhkanlah seluruh Ego-ego”
Filsafat berasal dari
yunani sekitar abad ke-6 SM, zaman ini merupakan zaman peralihan dari mitos ke
logos. Maksudnya adalah sebelum zaman tersebut segala sesuatu masih merupakan
mitos karena belum ada pemikiran tentang kebenaran dari mitos-mitos tersebut
kemudian pada abad ini lahirlah
pemikir-pemikir yang mencoba menggunakan kemampuannya untuk
memikirkan kebenaran dari mitos-mitos
tersebut.
Ada dua aliran dari
pemikiran para tokoh-tokoh tersebut yang
disebut dengan aliran filsafat antara lain :
1. Filsafat
yang beraliran tetap.
Ada beberapa tokoh yang berada pada
aliran ini antara lain : Parmenidas, Plato dan Rene Descartes.
·
Pemikiran dari Parmenidas adalah segala sesuatu
“yang ada” tidak berubah. Parmenides tidak mendefinisikan apa yang dimaksud
“yang ada” namun menyebutkan sifat-sifatnya.
·
Pemikiran dari Plato adalah menganggap bahwa segala sesuatu itu TETAP
·
Pemikiran Rene Descartes adalah bahwa segala
sesuatu itu adalah konsisten.
2. Filsafat
yang beraliran berubah
Sedangkan tokoh-tokoh yang ada pada
aliran perubahan ini anatara lain adalah : Herakleitos, Aristoteles, dan
David Hume.
·
Pemikiran dari Herakleitos adalah tidak ada satu pun hal
di alam semesta yang bersifat tetap atau permanen. Tidak ada sesuatu yang
betul-betul ada, semuanya berada di dalam proses menjadi.
·
Aristoteles memiliki paham Realis yaitu paham bahwa hakekat suatu benda itu bukan terletak
pada ide/pikiran melainkan pada obyek nyata benda itu sendiri.
·
Pemikiran dari
David Hume pada dasarnya sama dengan Aristoteles yaitu menekankan pada Berpikir (ide).
Ada
pertentangan antara paham Rene Descartes dan David Hume yang terlihat dari
filsafat aliran tetap dan aliran berubah, Immanuel Kant mencoba untuk
mensintesiskan keduanya sehingga membentuk suatu paham Synthetic Apriori yaitu Filsafat Lengkap berdasarkan gabungan
antara Synthetic Aposteriori dengan Analytic Apriori. Inti paham Immanuel
Kant dikenal dengan Kritisisme atau Filsafat Kritis, suatu nama yang
diberikannya sendiri. Kritisisme adalah filsafat yang memulai perjalanannya
dengan terlebih dulu menyelidiki kemampuan rasio dan batas-batasnya. Kritisisme
terdiri atas 3 bagian, yaitu :
1) Kritik
atas Rasio Murni
Kant menjelaskan bahwa ciri pengetahuan adalah
bersifat umum, mutlak dan memberi pengertian baru. Untuk itu ia terlebih dulu
membedakan adanya tiga macam putusan. Pertama,
putusan analitis a priori; di mana predikat tidak
menambah sesuatu yang baru pada subjek, karena sudah termuat di dalamnya
(misalnya, setiap benda menempati ruang). Kedua,
putusan sintesis aposteriori, misalnya pernyataan
“meja itu bagus” di sini predikat dihubungkan dengan subjek berdasarkan
pengalaman indrawi, karena dinyatakan setelah mempunyai pengalaman dengan aneka
ragam meja yang pernah diketahui. Ketiga,
putusan sintesis a priori: di sini dipakai sebagai
suatu sumber pengetahuan yang kendati bersifat sintetis, namun bersifat a
priori juga. Misalnya, putusan yang berbunyi “segala kejadian
mempunyai sebabnya”. Putusan ini berlaku umum dan mutlak (jadi a
priori), namun putusan ini juga bersifat sintetis dan aposteriori.
Sebab di dalam pengertian “kejadian” belum dengan sendirinya tersirat
pengertian “sebab”. Maka di sini baik akal maupun pengalaman indrawi dibutuhkan
serentak. Ilmu pasti, mekanika, dan ilmu pengetahuan alam disusun atas putusan
sisntetis yang bersifat a priori ini. Menurut Kant, putusan
jenis ketiga inilah syarat dasar
bagi apa yang disebut pengetahuan (ilmiah) dipenuhi, yakni bersifat umum dan mutlak
serta memberi pengetahuan baru. Persoalannya adalah bagaimana terjadinya
pengetahuan yang demikian itu?. Menjawab pertanyaan ini Kant menjelaskan bahwa
pengetahuan itu merupakan sintesis dari unsur-unsur yang
ada sebelum pengalaman yakni unsur-unsur a priori dengan
unsur-unsur yang ada setelah pengalaman yakni unsur-unsur aposteriori.
Proses sintesis itu, menurut Kant terjadi dalam tiga tingkatan pengetahuan
manusia yaitu pencerahan indrawi (sinneswahrnehmung), lalu tingkat
akal budi (verstand), dan tingkat tertinggi adalah tingkat
rasio/intelek (Versnunft).
2) Kritik
atas Rasio Praktis
memberikan penjelasan tentang syarat-syarat
umum dan mutlak bagi pengetahuan manusia, maka dalam “kritik atas rasio
praktis” yang dipersoalkan adalah syarat-syarat umum dan mutlak bagi
perbuatan susila. Kant coba memperlihatkan bahwa syarat-syarat umum yang berupa
bentuk (form) perbuatan dalam kesadaran itu tampil dalam
perintah (imperatif). Kesadaran demikian ini disebut
dengan “otonomi rasio praktis” (yang dilawankan dengan heteronomi). Perintah
tersebut dapat tampil dalam kesadaran dengan dua cara, subyektif dan obyektif. Maxime
(aturan pokok) adalah pedoman subyektif bagi perbuatan orang
perseorang (individu), sedangkan imperatif (perintah) merupakan azas
kesadaran obyektif yang mendorong kehendak untuk melakukan perbuatan. Imperatif
berlaku umum dan niscaya, meskipun ia dapat berlaku dengan bersyarat
(hepotetik) atau dapat juga tanpa syarat (kategorik). Imperatif kategorik tidak
mempunyai isi tertentu apapun, ia merupakan kelayakan formal. Menurut Kant,
perbuatan susila adalah perbuatan yang bersumber pada kewajiban dengan penuh
keinsyafan. Keinsyafan terhadap kewajiban merupakan sikap hormat (achtung).
Sikap inilah penggerak sesungguhnya perbuatan manusia.
3) Kritik
atas Daya Pertimbangan
Konsekuensi dari “kritik atas rasio
murni” dan “kritik atas rasio praktis” menimbulkan adanya dua kawasan
tersendiri, yaitu kawasan kaperluan mutlak di bidang alam dan kawasan kebebasan
di bidang tingkah laku manusia. Adanya dua kawasan itu, tidak berarti
bertentangan atau dalam tingkatan. Kritik atas Daya Pertimbangan (Kritik
der Urteilskraft), dimaksukkan oleh Kant, adalah mengerti persesuaian
kedua kawasan itu. Hal itu terjadi dengan menggunakan konsep finalitas
(tujuan). Finalitas bisa bersifat subjektif dan objektif. Kalau finalitas
bersifat subjektif, manusia mengarahkan objek pada diri manusia sendiri. Inilah
yang terjadi dalam pengalaman estetis (kesenian). Dengan finalitas yang
bersifat objektif dimaksudkan keselarasan satu sama lain dari benda-benda alam.
Kemudian
muncul lagi Filsafat modern yang anggota-anggotanya antara lain : Augusta Comte dengan aliran Positivisme
Aliran ini sebagai antitesis Filsafat Yunani yaitu mengembangkan keilmuan yang
telah ada sebelumnya.
Pertanyaan :
1. Apakah pemikiran manusia itu terbatas atau tanpa batas ?
2. Apakah kemampun seseorang dalam berfikir berbanding lurus dengan usia?
1. Apakah pemikiran manusia itu terbatas atau tanpa batas ?
2. Apakah kemampun seseorang dalam berfikir berbanding lurus dengan usia?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar